Minggu, 26 Agustus 2012

PEMERINTAH Myanmar yang mendapat kecaman keras dari sejumlah negara terkait isu Rohingya, menyangkal adanya peristiwa pembantaian etnis minoritas itu. Selain itu, mereka pun diklaim mempersulit akses masuk ke Negara Bagian Arakan.
 
Pada saat peristiwa berdarah itu berlangsung, Pemerintah Myanmar mengatakan bahwa mereka ikut membantu korban konflik komunal di Arakan. Mereka juga dikabarkan membangun perumahan warga yang hancur dibakar pada saat konflik berlangsung. 
 
Myanmar turut menampik klaim tentang adanya peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh aparat keamanan dan warga pribumi, terhadap warga minoritas Rohingya di Arakan. Pemerintah Myanmar juga yakin akan adanya kebohongan media mengenai insiden konflik komunal di Arakan.
 
Selain itu, Pemerintah Myanmar yang belum menganggap Rohingya seperti warganya sendiri membantah semua komentar yang menyatakan bahwa mereka memperlakukan Rohingya secara semena-mena. Wakil Presiden Myanmar Sai Mauk Kham menegaskan kembali bahwa  saat ini Myanmar membutuhkan solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah itu.
 
"Ada ketidakseimbangan populasi, warga Benggala berjumlah 94 persen dan warga pribumi hanya enam persen di Maungtaw dan Buthidaung," ujar Kham, seperti dikutip Mizzima, Kamis (23/8/2012).
 
Dalam peristiwa ini, Amerika Serikat (AS) pun sependapat dengan Myanmar. Dalam pernyataan terbarunya,  AS justru menolak apa yang dialami etnis Rohingya sebagai sebuah pembersihan etnis, seperti halnya dinyatakan oleh Organisasi Kerja Sama Internasional (OKI).
 
Pernyataan dari pihak diyakini didasarkan pada laporan pejabat AS yang menemani kunjungan utusan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tomas Ojea Quintana ke wilayah lokasi kerusuhan etnis Rohingya dengan etnis pribumi Arakan. Komentar itu muncul di saat Sekjen OKI Ekmeleddin Ihsanoglu mengutarakan kekecewaannya terhadap insiden kekerasan di Myanmar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar